Pantau Gambut
Oleh Rendy Mulyono
dari Catalyze Content Test
Aturan ekspor benih bening lobster (BBL) yang terbit pada Mei 2020, sempat menjadi polemik dan pro kontra di kalangan nelayan penangkap BBL di Lombok, NTB. Ada nelayan yang mendukung dan ada yang menolak

Dalam proses perizinan, semuanya terpusat. Perusahaan terdaftar di Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Penentuan kuota untuk setiap perusahaan juga dari pusat. Daerah hanya kebagian mendata nelayan, dan itu pun nantinya surat keterangan nelayan penangkap BBL dikeluarkan KKP. Hampir tidak ada peran signifikan dari kabupaten maupun provinsi. Konsekuensinya pengawasan sangat lemah.

“Bagaimana mengontrol apakah aturan dari pusat itu benar-benar dijalankan, salah satunya terkait kuota. Apakah bisa diawasi benar-benar kuota sudah sesuai,’’ kata Amin.

Celah inilah yang memungkinkan dipermainkan. Fakta di lapangan yang ditemukan LPSDN, para eksportir menyiasati berbagai persyaratan yang harus dipenuhi sebelum menjadi eksportir. Salah satunya terkait budidaya. Sesuai Permen KP No.12/2020, perusahaan eksportir harus melakukan budidaya, pelepasan benih, pelepasan induk lobster. Setelah melakukan kewajiban itu, barulah perusahaan boleh mengirim benih lobster.

Life of lobster

“Hanya pemanis saja bilang budidaya. Bagaimana mau tegakkan aturan kalau pengawasan tidak jelas,’’ kata Amin.

Amin menyindir beberapa kegiatan pelepasan induk lobster hasil budidaya yang dilakukan perusahaan. Dalam pelepasan itu dihadiri oleh pejabat terkait Kementerian Kelautan dan Perikanan. Para nelayan sudah tahu jika induk lobster yang dilepas itu dibeli dari nelayan setempat. Dimasukkan ke dalam keramba yang diklaim sebagai keramba budidaya perusahaan. Setelah itu keluarlah izin untuk mengirim benih bening.

“Aturan ini baru-baru keluar, perusahaan baru, tiba-tiba sudah ada budidaya,’’ kata Amin.

Hasan bilang pihak perusahaan menekan pengepul dan nelayan karena perusahaan eksportir juga ditekan oleh perusahaan pengiriman. Biaya kargo Rp 1.800 per ekor BBL terlalu mahal. Akibatnya harga beli dari nelayan diturunkan demi menekan biaya pengiriman.

Nasrullah salah seorang nelayan budidaya lobster di Lombok Timur merasakan dalam tata niaga ekspor BBL membuat posisi nelayan sangat lemah. Benih tidak bisa disimpan terlalu lama, tetapi nelayan tidak tahu berapa sebenarnya kuota pembelian. Di satu sisi nelayan budidaya juga harus bersaing dengan para pengepul untuk eksportir. Untuk masuk kargo, tidaklah mudah dan tidak murah. Dia mendapat informasi dari beberapa rekannya banyak benih yang mati karena terlalu lama dalam pengemasan.

Apa sih budidaya lobster itu?

Isu terakhir yang juga memerlukan pembahasan sampai tuntas, adalah tentang integritas dan transparansi tata kelola BBL. Pembahasan tersebut menjadi mendesak, karena KKP hingga saat ini masih sering melakukan pelanggaran.

“Akibat pelanggaran ini, akhirnya menimbulkan masalah hukum dan terendus KPK. Jadi, semua isu tersebut kesimpulannya harus menjadi catatan untuk melakukan pembenahan oleh KKP,” tegas dia.

Permen No.12/2020 itu juga tidak mempertimbangkan rujukan Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas Kajiskan) tentang status zona perairan, termasuk stok BBL di suatu wilayah. Sehingga dia menyarankan agar maka KKP sebaiknya segera untuk kembali fokus melaksanakan upaya pembesaran BBL di dalam negeri saja.

Kalaupun ada kegiatan ekspor, menurut Halim itu bisa dilakukan dengan memberikan alokasi izin setelah pelaksanaan budi daya Lobster berhasil dilakukan oleh para pelaku usaha, termasuk nelayan dan pembudi daya. Dengan demikian, ekspor BBL sebaiknya ditunda sejak sekarang.

Dukung Kami

Bagikan informasi ini kepada keluarga dan teman-temanmu.